Prkembangan Ekonomi Islam di Indonesia
sekarang ini sudah semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan munculnya
berbagai lembaga keuangan yang berbasis syari’ah seperti Bank Syari’ah,
Pegadaian Syari’ah, Asuransi Syari’ah, dan lain-lain. Dari sinilah kita dapat
melihat adanya keinginan yang kuat dari kaum muslim untuk hidup sesuai dengan
syari’ah. Memandang hal demikian, sebagai salah satu institusi keuangan
Direktorat Jendral Pajak, sudah saatnya diperkenalkan, bagaimana “Pajak
Dalam Persepektif Islam dan Implementasinya di Indonesia Menurut UU tentang
Perpajakan”.
Islam sebagai ad-din memiliki seperangkat aturan atau Syari’ah, yang mengatur
tata cara hubungan mannusia dengan al-Khaliq,
dan hubungan antarsesama manusia (mua’amalah) dalam seluruh aspek, baik aspek
ekonomi, politik, social budaya, pertahanan dan keamanan negara, teknologi, dan
lain-lain.
Pada dasarnya, pajak (dharibah) sebagai sumber pendapatan
negara. Pakar ekonomi kontomporer mendefinisikan pajak sebagai kewajiban untuk
membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat berwenang yang
bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu atau imbalan secara langsung[1].
Pajak (dharibah) sendiri dalam islam
adalah salah satu sumber pendapatan negara hanya sebagai solusi dalam keadaan
darurat, yaitu dimana sumber pendapatan yang lain tidak dapat mencukupi
kebutuhan baitul mal kas negara tapi jika baitul mal (kas negara) sudah
mencukupi maka pajak (dharibah) harus dihapus.
Oleh karena itu pajak ini adalah sumber
pendapatan darurat, sudah semestinya negara mengoptimalkan dulu pendapatan dari
sumber utama dan qath’I, yaitu zakat dan jizyah kedua sumber ini memiliki
landasan yang kuat dalam islam.
Jika dilihat dari permasalahan diatas
pajak sendiri dapat diterapkan dalam islam tetapi jika dalam keadaan darurat.
Dari sinilah kita tidak mengetahui bagaimana penerapan pajak yang sesuai dengan
syari’ah jika diterapkan di indonesia.
A.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka masalah-masalah
yang muncul diantaranya sebagai berikut:
·
Bagaimana
jika pajak dilihat dalam persepektif islam?
·
Bagaimana
pendapatan pajak yang sesuai syariah jika di terapkan di Indonesia?
B.
Tujuan Penulisan
·
Untuk
mengetahui apakah Pajak diperbolehkan dalam Islam.
·
Untuk
mengetahui bagaimana pendapatan pajak dalam praktik di Indonesia yang sesuai
dengan syari’ah.
C.
Manfaat
Penulisan
·
Bagi
Penulis
Untuk menambah
ilmu pengetahuan dan wawasan tentang pajak dalam persepektif Islam.
·
Bagi
Umum
Hasil penelitian
ini sebagai salah satu informasi awal yang dapat digunakan sebagai pijakan
untuk pengembangan keilmuan pajak dalam perspektif islam, dalam bidang
pembelajaran.
2.
Tinjauan Pustaka
Pajak ditinjau dari segi etimologi,
berasal dari bahasa Arab disebut Dharibah, yang artinya mewajibkan, menetapkan,
menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan. Sedangkan terminologi,
terdapat berbagai macam definisi, antara lain definisi oleh Prof. Dr. Rochman
Soemitro,S.H., yang menyatakan bahwa pajak adalah
peralihan kekayaan dari sector wisata ke sector publik berdasarkan
undang-undang yang di paksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung
dapat ditunjukan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang
digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah, untuk mencapai
tujuan yang ada di luar bidang keuangan.[2]
Secara
etimologi, syari’at berasal dari syara’a-yasra’u-syar’an
yang artinya peraturan, menerangkan, menjelaskan, merencanakan,
menggariskan. Sedangkan, Abdul Karim Zaidan mendefinisikan bahwa, “Syaria’ah adalah hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Allah Swt. Untuk hamba-Nya, baik melalu Al-qur’an maupun dengan sunnah
Nabi Saw. Berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan.”[3]
APBN Tahun 2005,
berdasarkan urutan besarnya penerimaan pajak di Indonesia terdapat tiga objek
besar yaitu penghasilan (UU No.17 Tahun 2000), Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Penjualan atas barang mewah (UU No.18 Tahun 2000), Bumi dan Bangunan
(UU No.20 Tahun 2000)[4].
Sumber utama pendapatan Negara
menurut Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
No.
|
Nama Pendapatan
|
Jenis Pendapatan
|
Subjek
|
Objek
|
Tarif
|
Tujuan Penggunaan
|
1
|
Ghanimah
|
Tdk Resmi
|
Non Muslim
|
Harta
|
Tertentu
|
5 Kelompok
|
2
|
Zakat
|
Tdk Resmi
|
Muslim
|
Harta
|
Tertentu
|
8 Kelompok
|
3
|
Ushr – Shadaqah
|
Tdk Resmi
|
Muslim
|
Hasil Pertanian/dagang
|
Tetap
|
8 Kelompok
|
4
|
Jizyah
|
Resmi
|
Non Muslim
|
Jiwa
|
Tidak tetap
|
Umum
|
5
|
Kharaj
|
Resmi
|
Non Muslim
|
Sewa Tanah
|
Tidak tetap
|
Umum
|
6
|
Ushr – Bea Cukai
|
Resmi
|
Non Muslim
|
Barang dagang
|
Tidak tetap
|
Umum
|
7
|
Waqaf
|
Tdk Resmi
|
Muslim
|
Harta
|
Tidak tetap
|
Umum
|
8
|
Dharibah (Pajak )
|
Resmi
|
Muslim
|
Harta
|
Tidak tetap
|
Umum
|
Selain itu, Negara juga mendapatkan
sumber pendapatan sekunder, yaitu dari denda-denda (kafarat), hibah, hadiah,
dan lain-lain yang diterima secara tidak tetap.[5]
Adapun
karakteristik pajak (dharibah) menurut Syariat, yang hal ini
membedakannya dengan pajak konvensional yaitu pertama, Pajak (dharibah)
bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh dipungut ketika di
baitul mal tidak ada harta atau kurang. Kedua, Pajak (dharibah) hanya
boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan
sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh
lebih. Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional ditujukan untuk seluruh
warga tanpa membedakan agama. Ketiga, Pajak (dharibah) hanya diambil
dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim. Sedangkan teori pajak konvensional
tidak membedakan muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh ada
diskriminasi.[6]
Dalam
konteks Indonesia, payung hukum bagi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk
tidak salah pilih dalam menerapkan aturan perpajakan pada berbasis syariah di
Indonesia telah terbit, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2009
dengan tajuk Pajak Penghasilan (PPh) Atas Bidang Usaha Berbasis Syariah. Maka
mulai tahun ini, penghasilan yang di dapat dari usaha maupun transaksi berbasis
syariah baik oleh wajib pajak (WP) pribadi maupun badan bakal dikenakan PP.
Penerbitan PP PPh Syariah ini merupakan bentuk aturan pelaksana yang
diamanatkan Pasal 31D UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.
3.
Metode Penelitan
Metode
penyusunan proposal ini adalah metode Desktiptif-Analitis.
Data-data yang ada diambil dari sumber-sumber tertulis, antara lain buku-buku
yang berkaitan dengan tema pembahasan dan artikel dari internet. Penyusun
mengambil pendapat-pendapat seputar pajak dalam persepektif islam. Selain itu,
digunakan pula analisis untuk membandingkan pendapat seputar pajak konvensional
dan pajak menurut Islam.
Posting Komentar