PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Bank
sebagai lembaga intermediasi dalam pengelolaan dana, mempunyai posisi strategis
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran intermediasi bank merupakan amanah
yang harus dijalankan dengan tetap
mengedepankan prinsip keadilan. Dalam perekonomian modern, penggunaan bunga
senantiasa dikaitkan dengan operasionalisasi sistem perbankan. Karena
interdependensinya dengan berbagai variabel ekonomi lainnya, maka setiap
gejolak yang terjadi pada bunga akan mengakibatkan pula ketidak stabilan
ekonomi. Lahirnya bank-bank syariah dalam satu dekade terakhir adalah wujud
komitmen masyarakat untuk menerapkan prinsip syariah dalam mewujudkan
kesetaraan, kejujuran dan keadilan melalui sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Pada saat
bank konvensional tidak mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis, justru
bank syariah memiliki daya tahan yang tangguh dan tetap mampu mendukung sektor
rill. Wujud kontribusi nyata bank syariah meskipun belum optimal merupakan
potensi besar bagi pengembangan sistem keuangan modern. Peran serta semua pihak
dan pelaku ekonomi terkait merupakan keharusan yang segera direalisasikan untuk
mewujudkan sistem keuangan alternatif dalam memecahkan masalah ekonomi.
Sejak diberlakunya
Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun
1992 (undang-undang tentang perbankan) , industri perbankan di Indonesia
berlaku sistem perbankan ganda yakni sistem perbankan konvensional atau peranti
bunga (yang di sebut bank konvensional) dan sistem perbankan bagi hasil atau
peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip syariah Islam (yang di sebut Bank
Syariah). Dan dengan munculnya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan ini, dalam dunia
perbankan terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar
bagi pengembangan perbankan syariah[1].
Perbankan
syariah adalah aplikasi dari sebuah sistem perekonomian, salah satu dari tujuan
perbankan syariah sendiri yaitu menghimpun dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat untuk meningkatkan ekonomi
masyarakat. kontribusi ekonomi bank syaria’ah terhadap pertumbuhan ekonomi
masyarakat tersebut sangat ditentukan oleh kemampuan bank syari’ah secara efektif
melakukan produksi maupun manajerial kelembagaannya. Hal ini ditentukan oleh
seberapa besar bank syari’ah mampu menyalurkan dana kepada masyarakat, sehingga
masyarakat mampu melakukan produksi secara optimal.[2]
Kontroversi
yang sekarang sering di bicarakan pada
perbankan salah satunya yaitu tentang halal-haramnya bunga bank dan kaitannya
dengan riba. Yakni riba yang berupa tambahan pembayaran jumlah utang oleh
debitur (mustaqridl) kepada debitur (muqrid) sebagai imbalan yang di
tangguhkannya waktu pelunasan.[3]
Dengan Lahirnya bank-bank syariah untuk wujud komitmen masyarakat dalam
menerapkan prinsip syariah mewujudkan kesejahteraan, kejujuran dan keadilan dengan
Optimalisasi
Instrument profit and loss sharing dalam Mengatasi Sistem Riba untuk
Meningkatkan Sistem Ekonomi yang Sejahtera.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penelitian difokuskan pada rumusan masalah berikut :
1. Bagaimana
implementasi profit and loss sharing
dalam mengatasi sistem riba untuk meningkatkan ekonomi yang sejahtera.
2. Apakah
instrument profit and loss sharing
dapat mengatasi sistem riba untuk meningkatkan ekonomi yang sejahtera.
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui Bagaimana implementasi profit
and loss sharing dalam mengatasi sistem riba untuk meningkatkan ekonomi
yang sejahtera.
2. Untuk
mengetahui apakah instrument profit and
loss sharing dapat mengatasi sistem riba untuk meningkatkan ekonomi yang
sejahtera.
D.
Pembahasan
1. Pengertian
Profit and Loss Sharing
Profit
and loss sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi
keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[4]
Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih
besar dari biaya total (total cost).[5]
Dalam istilah lain profit sharing
adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total
pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah
profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian
antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang
telah dilakukan.
Sistem
profit and loss sharing dalam
pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal
(Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha
ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha
tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah
kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian
akan ditanggung bersama sesuai porsi
masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak
mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan
bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas
kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil
usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih
dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan
usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti
ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya
antara pendapatan dan biaya menjadi balance.
Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
2. Riba Menurut Islam dan Pengaruhnya Terhadap
Ekonomi Masyarakat
Riba
menurut bahasa berasal dari kata Rabaa’-yarbu,
riba-an yang berarti Az-Ziadah,
tambahan (addition), bertambah (increase) atau tumbuh (grow).[6]Sedangkan,
menurut syara’ ialah akad dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama
atau tidaknya menurut aturan syara; atau terlambat menerimanya[7].
Jadi, Riba ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit maupun banyak
secara tersembunyi.
Imam Razi mencoba menjelaskan alasan
mengapa bunga dalam Islam dilarang, antara lain (Qardhawi, 2000) :
·
Riba
merupakan transaksi yang tidak adil dan mengakibatkan peminjam jatuh miskin
karena dieksploitasi, karena riba mengambil harta orang lain tanpa imbalan.
Seperti orang yang menjual senilai satu rupiah tetapi mendapat bayaran dua
rupiah, berarti dia mendapatkan tambahan satu rupiah tanpa ada pengorbanan.
Sedangkan harta seseorang merupakan hak miliknya yang harus dihormati/dihargai,
sebagaimana disebutkan dalam hadis di bawah ini. “Kehormatan harta seseorang
seperti kehormatan darahnya”. (Abu Numan dalam Al Hilyah)
·
Riba
akan menghalangi orang untuk melakukan usaha karena pemilik dapat menambah
hartanya dengan transaksi riba baik secara tunai maupun berjangka. Sehingga
pemilik harta riba akan meremehkan persoalan mencari penghidupan sehingga dia
tidak mau menanggung risiko berusaha, berdagang, dan pekerjaan-pekerjaan yang
berat. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya manfaat bagi masyarakat. Padahal
telah diketahui bersama bahwa kemaslahatan dunia tidak akan dapat terwujud
tanpa adanya perdagangan, keterampilan, perusahaan, dan pembangunan.
·
Riba akan menyebabkan terputusnya
hubungan baik antar masyarakat dalam bidang pinjam meminjam. Jika riba
diharamkan, setiap orang akan merasa rela meminjamkan uang satu rupiah dan
mendapat pengembalian sebesar satu rupiah. Sedangkan jika riba dihalalkan,
orang yang memiliki kebutuhan mendesak akan mendapatkan uang satu rupiah dan
mengembalikan sebesar dua rupiah. Hal ini akan menyebabkan hilangnya perasaan
belas kasihan, kebaikan, dan kebajikan.
Pada
umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam
adalah orang miskin. Pendapat yang memperbolehkan riba berarti memberikan jalan
bagi orang kaya untuk menerima tambahan harta dari orang miskin bertambah
miskin. Padahal tindakan demikian itu tidak diperbolehkan menurut nilai kasih
sayang dari Allah yang Maha Penyayang[8].
3. Larangan Riba Dalam Islam
Larangan riba telah mulai ditetapkan secara lebih jelas,
walaupun pelarangannya masih terbatas pada riba yang berlipat ganda.
Allah
Swt berfirman dalam Qs. Al-Imran : 130
ุงََّููู َูุงุชَُّููุง ู
ُุถَุงุนََูุฉً
ุฃَุถْุนَุงًูุง ุงูุฑِّุจَุง ุชَุฃُُْูููุง ูุง ุขู
َُููุง ุงَّูุฐَِูู ุง ุฃََُّููุง َูุง ุชُِْููุญَُูู َูุนََُّููู
ْ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.( Qs.Al-Imran
:130)[9]
Ayat
diatas telah menerangkan dengan jelas bahwa semua praktek riba itu dilarang
(haram), tidak peduli besar kecilnya tambahan yang diberikan. Karena, Allah
hanya membolehkan pengembalian sebesar pokoknya saja. Bagi yang memungut riba,
ada ancaman yang sangat keras yaitu Allah dan rasul akan memeranginya. Sebagian
orang masih memperdabatkan dan menganggap riba sama dengan jual beli. Padahal,
Allah Swt telah menetapkan dengan jelas dan tegas bahwa riba tidak sama dengan
jual beli. Jual beli di perbolehkan (halal) sedangkan riba dilarang (haram).
Sebagaiman Allah Swt berfirman dalam Qs.Al-Baqarah :275
ุงูุฑِّุจَุง َูุญَุฑَّู
َ ุงْูุจَْูุนَ ุงَُّููู َูุฃَุญََّู
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba” (Qs.Al-Baqarah :275)”
Dalam Ayat-ayat Al-Qur’an, riba dan shadaqah
dipertentangkan. Kecaman, ancaman keras dan pengaharaman riba pertentangkan
dengan seruan shadaqah sebagai tindakan terpuji. Praktik riba yang memberikan
keuntungan secara berlipat ganda dipertentangkan dengan pahala shadaqah yang
sudah meluas. Riba karena pinjaman kepada manusia dipertentangkan dengan
shadaqah yang dinyatakan sebagai pinjaman kepada Allah yang pasti akan diganti
secara berlipat ganda.
Tujuan Allah dari semua itu sangat jelas, yaitu menghapus
praktik tradisi jahiliyah yaitu meminjamkan uang dengan harapan imbalan (riba)
dan menggantinya dengan tradisi yang baru, yaitu tradisi shadaqah (meminjamkan
dengan mengharapkan ridha Allah). Al-Qur’an mengencam keras dan mengaharamkan
tradisi riba dan mengencam keras para pelakunya.
4. Teori Riba dan Bagi Hasil (profit and loss sharing)
Teori riba muncul sejak manusia mulai melakukan
pemikiran ekonomi. Para filosof Yunani Kuno telah melakukan pembahasan tentang
riba, di antara para filosofis tersebut adalah Plato, Aristoteles. Mereka
melarang dan mngutuk orang-orang yang melakukan akrivitas ekonomi dangan riba.
Mereka memandang uang bukan sesuatu yang dapat berbunga atau membuahkan harta,
akaan tetapi uang merupakan alat tukar. Setelah itu, maka pemikiran riba
semakin berkembang. Para pakar ekonomi masa lalu telah mengembangkan berbagai
teori bunga uang. Pro dan kontra pembahasannya selalu terjadi di antara mereka.[10]
Teori bagi hasil sendiri
menurut terminology asing (Inggris) dikenal dengan profit and loss sharing. profit and loss sharing dalam kamus
ekonomi di artikan pembagian laba. Secara definitif profit and loss sharing
yaitu “distribusi beberapa bagian dari
laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan,
bahwa hal itu dapat berbentuk bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada
laba yang di peroleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau atau berbentuk
pembayaran mingguan atau bulanan.
Mekanisme
lembaga keuangan syaraiah sendiri atau bagi hasil (profit and loss sharing), pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk
produk-produk pnyertaan baik penyertaan menyeluruh maupun
sebagian-sebagian,atau kepentingan bisnis yang disebutkan tadi, harus melakukan
transparansi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan
pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk
kepentingan pribadi melainkan proyek.
Keuntungan
yang di bagihasilkan harus dibagi secara prposional antara shohibul maal dengan mudharib.
Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah salah satunya, bukan untuk
kepentingan pribadi mudharib, dapat
di msukan kedalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus di bagi antar
shahibul maal dan mudharib sesuai proporsi perjanjian awal. Tidak ada pembagian
laba sampai semua kerugian ada pembagian keuntungan sebelum habis masa
perjanjian akan dianggap sebagai keuntungan di muka.[11]
Walaupun
seluruh ulama menanggapi bahwa profit and
loss sharing sebagai bentuk yang paling otentik dan paling menjanjikan
dalam kontrak islam, ada beberpa pendapat pula. Penolakan tersebut dikelompokan
menjadi 2 (dua) kategori yaitu[12]:
v profit and loss sharing (PLS)
adalah kontrak jaman pertengahan, yang tidak perlu di adaptasikan dengan
kenyataan-kenyataan ekonomi kontemporer
v profit and loss sharing
bisa jadi bertentangan dengan arti riba yang sebenarnya dan dapat juga
menyababkan salah satu pihak mengambil keuntungan dari pihak yang lai, yang
dapat terjadi jika salah satu partisipan mempunyai pengetahuan yang tidak
sempurna atau mempunyai posisi tawar yang lemah.
ร
Skema
Bagi Hasil (profit
and loss sharing) dan Skema Bunga
4. Riba Dalam Sistem Perbankan dan Ekonomi
Evolusi perbankan
dengan berbagai macam produknya, telah memberikan warna tersendiri dalam
dinamika perekonomian modern. Dominasi sistem riba dalam berbagai aktifitas
perekonomian, berkonsekuensi terhadap operasionalisasi perbankan dengan bunga
sebagai instrumen utamanya. Mekanisme riba telah memberikan jarak dan
memunculkan distorsi sehingga menimbulkan ketidakterkaitan langsung (disconnection) antara sektor finansial yang
berkembang sangat pesat dan fantastis di sate pihak dengan sektor riil yang
secara nyata memberi nafas kehidupan masyarakat. Kondisi ini akhirnya
menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang semu (buble
economy). Keynes (1936 mendefinisikan bunga sebagai persentase kelebihan
sejumlah uang pada perjanjian penyerahan di masa depan, misalnya sesudah
setahun, terhadap harga uang secara tunai atau kas jumlah uang termaksud.
Dengan demikian, bunga tersebut merupakan tambahan yang diperoleh berdasarkan
persentase pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan yang ditentukan secara
tetap pada awal transaksi tanpa mempertimbangkan keadaan proyek di masa datang
untung atau rugi. Padahal dalam dunia nyata optimalisasi atas uang atau modal
tergantung dari jenis usaha, lama usaha, keadaan pasar beserta jaringannya,
serta stabilitas politik, yang mana akan memunculkan pula resiko kerugian,
sehingga padanya diperlukan sharing.[13]
5. Peran
Bagi Hasil bagi (Profit and loss sharing)
dalam Menstabilitaskan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Mekanisme bagi
hasil merupakan hal baru dalam kerangka mekanisme sisitem ekonomi pada
umumnya. Sebagai sistem baru biasanya memberikan peluang dan tantangan yang
cukup berarti. Hadirnya sisitem bagi hasil tentunya tidak akan memberikan ruang
gerak bagi sistem bunga.
Salah satu aspek sistem bagi hasil juga dapat
mengundang diskusi . salah satu dianataranya adalah aspek yang berkaitan dengan
bagi resiko. Dalam kerangkaan kerja saat ini, pemilik modal dapat mendistribusikan
resiko melalui pembagian manajemen dan utang dalam bentuk bergabung dalam
pemilikan saham. sementara pemilik tenaga, tidak dapat membagikan ten ganya
kepada pemilik modal. Jadi, setiap usaha bersama mengalami resiko, maka dalam
konsep bagi hasil kedua belah pihak akan sama-sama menanggung resiko. Di ssatu
pihak, pemilik modal menanggung kerugian modalnya, dipihak lain pelaksanaan
proyek akan mengalami kerugian atas tenaga atau biaya tenaga kerja yang telah
dikeluarkan. Dengan kata lain, masing-masing pihak yang melakukan kerjasama
dalam sistem bagi hasil akan berpatisipasi dalam kerugian dan keuntungan. hal
demikoan menunjukan keadian dalam distribusi pendapatan.
E.
Analisis
Dalam sistem ekonomi islam, tingkat bunga yang
di bayarkan kepada nasabahnya digantingkan dengan presentase atau proporsi bagi
hasil (profit and loss sharing) dan
tingkat bunga yang di terima oleh bank (dari debitur) akan di gantikan dengan
presentase bagi hasil. Dua bentuk rasio keuntungan di jadikan instrument untuk
memobilisasi tabungan dan di salurkan pada aktivitas-aktivitas bisnis
produktif. Walaupun rasio bagi hasil di tetapkan dahulu, namun ketika tingkat
keuntugan berfluktuasi maka tingkat pendapatannya pun akan berfluktuasi. Dengan
kata lain, pendapatan akan berfluktuasi dan tidak menentu
Walapun ahli ekonomi muslim menekankan bahwa
ada kekuatan built-in dalam sisitem
ekonomi islam dalam menjamin stabilitas. Bagi hasil (profit and loss sharing) tidak akan ada faktor yang menyebabkan
terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Bahwa sistem ekonomi berdasarkan bagi hasil
(profit and loss sharing) akan
menjamin alokasi sumber ekonomi yang lebih baik dan terjadinya distribusi
pendapatan yang sesuai untuk menghindari sistem riba. Analisis terhadap peran bagi hasil terhadap pencapaian
stabilitas ekonomi harus dengan menggunakan pendekatan analisis keseimbangan (equilibrium). Mekanisme analisis
keseimbangan menyajikan bagaiman mekanisme penentuan supply dan demand atas
tabungan dapat mengatasi riba yang
ada pada saat ini.
F.
Kesimpulan
Bank
sebagai lembaga intermediasi dalam pengelolaan dana, mempunyai posisi strategis
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis
dengan sistem riba, yang sedang menanjak dan menjadi pilar
ekonomi Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang
banyak timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai
dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada saat bank konvensional tidak mampu bertahan
dalam menghadapi gejolak krisis, justru bank syariah memiliki daya tahan yang
tangguh dan tetap mampu mendukung sektor rill. Wujud kontribusi nyata bank
syariah meskipun belum optimal merupakan potensi besar bagi pengembangan sistem
keuangan modern.
Lahirnya
bank-bank syariah dalam satu dekade terakhir adalah wujud komitmen masyarakat
untuk menerapkan prinsip syariah dalam mewujudkan kesetaraan, kejujuran dan
keadilan melalui sistem bagi hasil
(profit and loss sharing). Dalam sistem ekonomi islam, tingkat bunga yang
di bayarkan kepada nasabahnya digantingkan dengan presentase atau proporsi bagi
hasil (profit and loss sharing) dan
tingkat bunga yang di terima oleh bank (dari debitur) akan di gantikan dengan
presentase bagi hasil.
Bahwa
sistem ekonomi berdasarkan bagi hasil (profit
and loss sharing) akan menjamin alokasi sumber ekonomi yang lebih baik dan
terjadinya distribusi pendapatan yang sesuai untuk menghindari sistem riba.
[1] Bank Indonesia,
Statistik Perbankan Syariah, November 2004, hlm. 2
[2]
Warkum
Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan
Takaful) di
Indonesia,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.102
[3]
Muhammad Ghafur W. “memahami bunga dan
riba ala muslim Indonesia” hlm. 1
[4] Muhammad, Manajemen Bank
Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) hlm. 101
[5] Cristopher Pass dan Bryan Lowes,
Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta
: Erlangga, 1994)Edisi ke-2 , hlm. 534
[6] Muhammad Mahmud, Kedudukan Harta Dalam Pandangan Islam, terjemahan
Abdul Fatah Idris, Kalam Mulia, Jakarta, 1989, hlm. 150 & 167
[7] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam,
Sinar Baru, Bandung, 1992, Hlm 292
[8]
Sri Nurhayati “Akuntansi Syaria’ah di
Indonesia” hal. 79
[9] Qs.Al-Imran
:130
[10]
Muhammad “Teknik Perhitungan Bagi hasil dan Profit
Margin Pada perbankan Syariah” hlm.
12
[12] Ibrahim Warde “Islamic Finance Keuangan Islam dalam
Perekonomian Global” hlm.292
[13] Arif Pujiyono “posisi dan prospek bank syariah dalam dunia
perbankan syariah” hlm. 46
Posting Komentar