PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
adalah mahluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu yang lain dalam
menghadapi berbagai persoalan hidup untuk memenuhi kebutuhan antara yang satu
dengan yang lainnya. Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan, sering terjadi
pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan
masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar
tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka, timbulah hak dan kewajiban diantara
sesama manusia salah satunya adalah hak milik. Secara garis besar, hak
dibedakan menjadi dua yaitu maal dan ghoiru maal. Hak maal adalah sesuatu yang
berkaitan dengan harta seperti pemilikan benda atau hutang-hutang sedangkan
ghoiru maal dibagi menjadi dua yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Hak syakhshi
adalah suatu tuntutan yang ditetapkan oleh syara’ dari seseorang terhadap orang
lain sedangkan hak ‘aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa
dibutuhkan orang kedua.[1]
Islam
memiliki pandangan yang khas tentang hak milik, sebab ia dikolaborasi dari
Al-Qur'an dan Al-Hadis. Dalam pandangan Islam pemilik mutlak seluruh alam
semesta adalah Allah sedangkan manusia adalah pemilik relative. Kepemilikan
manusia terikat dengan aturan Allah, ia hanya bertugas untuk melaksanakan
perintah Allah. Kesadaran bahwa kepemilikan manusia atas sumber daya ekonomi
akan dipertanggungjawabkan kepada Allah diakhirat yang akan mendorong manusia
untuk berhati-hati untuk mengelola hak milik. Secara umum dapat dikatakan bahwa
Islam memberikan kedudukan yang proporsional antara hak milik individu, hak
milik kolektif (umum) dan hak milik negara. Meskipun hak milik ini sangat
dilindungi, tapi ketiganya bukan hak milik yang bersifat mutlak. Hak milik
dapat berubah atau diubah sesuai dengan tingkat kepentingan dan urgensinya
tentunya melaui cara-cara yang dibenarkan.
Secara
singkat makalah ini akan menjelaskan Impelementasi Kepemilikan dalam Persepektif
Hukum Islam untuk Perekonomian muslim dan diikuti dengan prinsip dasar
hak milik menurut Islam sehingga klasifikasi hak milik, batasan-batasan dan
kebijakan pengelolaanya merupakan bagian yang terpenting.
PEMBAHASAN
B. Pengertian
Hak Milik
Milik atau almilku berasal dari kata “ malaka-yamliku-milkan
“, malaka asy syaia yang berarti
memiliki atau mempunyai sesuatu.[2].
Milik menurut bahasa berarti Pemilikan atas sesuatu (harta) dan kewenangan
bertindak secara bebas terhadapnya.
Berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.(QS.Al-Hadid:
7)[3]
Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Islam
Almilk yaitu penguasaan terhdap sesuatu
yang dimiliki (harta) sedangkan kepemilikan adalah pendapatan seseorang yang
diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan
keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya.[4]
Berikut beberapa definisi hak milik
atau milkiyyah yang dijelaskan oleh para fuqaha, antara lain:
1. Definisi
yang disampaikan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily:
Milik adalah
keistimewaan (Ikhtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya
dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan
syar’i.
2. Definisi
yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad Azzarqa :
Milik
adalah keistimewaan (Ikhtishash) yang bersifat menghalangi orang lain yang
syara’ memberikan kewenangan kepada pemilik ber-tasharruf kecuali terdapat
halangan.
3. Definisi
yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa Assya’labi :
Hak milik adalah keistimewaan
(Ikhtishash) atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan
memungkinkan pemiliknya ber – tasharruf secara langsung atasnya selama tidak
ada halangan syara’
4. Definisi
yang disampaikan oleh Ali Khafifi :
Hak milik adalah keistimewaan
(Ikhtishash) yang memungkinkan pemiliknya bebas ber-tasharruf dan
memanfaatkannya sepanjang tidak ada halangan syara’.
C. Sebab
- sebab Hak milik
Hak milik dapat diperoleh melalui
sebab - sebab berikut ini:
1. Ihrazul Mubahat (Penguasaan
harta bebas)
Al mubahat
adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi ( dikuasai
oleh orang lain) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Jadi Ihrazul
mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum
dikuasai atau dimiliki pihak lain. Harta almubahat contohnya tanah mati, ikan
dilaut, hewan dan pohon dihutan. Setiap orang berhak untuk memiliki dan
menguasai harta benda tersebut berdasarkan batas kemampuannya masing-masing.[5]
Berdasarkan keterangan diatas
kepemilikan dengan cara Ihrazul mubahat dapat dilakukan apabila memenuhi 2
sarat berikut:
a. Tidak
ada pihak lain yang mandahului melakukan ihrazul mubahat. Seperti dalam kaidah:
“ Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas maka sungguh ia telah
memilikinya”
Seperti dalam kasus tanah yang
telah digarap dan dicocoki tanaman kemudian ditinggalkan maka tanah tersebut
tidak lagi termasuk tanah mati atau harta bebas karena tentunya ketika
pemiliknya tinggalkan memberi tanda terlebih dahulu seperti memberikan batas
dengan memasang pagar dan sebagainya yang menghalangi orang lain untuk memiliki
tanah tersebut.
b. Penguasaan harta tersebut bertujuan untuk
dimiliki bukan untuk yang lain. Jadi kata kunci Ihrazul mubahat adalah harta
bebas untuk tujuan dimiliki tidak untuk selain itu. Penguasaan tersebut bisa
dengan cara-cara yang lazim seperti memberi batas atau tanda pemilikan.
2. Tawallud ( Anak pinak /
berkembang biak )
Tawallud adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yag
lainnya atau dalam kaidah dikatakan:
“
Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik
adalah milik pemiliknya”
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang
besifat produktif. Harta benda yang bersifat produktif disini berarti benda
hidup atau bergerak yang dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru seperti
binatang yang dapat bertelur, beranak menghasilkan susu dan kebun yang dapat
menghasilkan buah dan bunga. Benda mati yang tidak bersifat produktif seperti
rumah dan mobil tidak berlaku prinsip tawallud karena rumah dan mobil tidak
bisa berbunga, bertelur apalagi beranak. Kalau ada keuntungan yang dihasilkan
dari mengusahakan harta tersebut maka keuntungannya didasarkan pada hasil usaha
kerja ( Tijari ) bukan tawallud.[6]
3. Al Khalafiyah ( penggantian )
Al khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang
baru menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dibedakan menjadi 2
yaitu:
a. Penggantian atas seseorang oleh orang lain
seperti pewarisan. Dalam pewarisan seorang ahli waris menggantikan posisi
pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya.
b.
Penggantian benda atas benda yang lainnya seperti terjadi pada tadhmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda
orang lain , lewat tadhmin ini terjadi penggantian atau peralihan milik dari
pemilik pertama kepemilik kedua.
4. Al Aqdu (Akad)
Akad adalah pertalian antara iab dengan
qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh terhadap objek
akad. Akad merupakan sebab pemilkan yang paling kuat dan berlaku luas dalam
kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi kekayaan dibandingkan dengan
sebab-sebab pemilikan diatas. Dari segi sebab pemilikannya dibedakan menjadi 2
yaitu:[7]
a. Uqud jabbariyah ( akad secara
paksa ) yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan secara langsung atau melalui
kuasa hukumnya . seperti paksaan menjual harta untuk melunasi hutang ,
kekuasaan hakim untuk menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi
kepentingan umum.
b. Tamlik jabbari ( pemilikan
secara paksa ) dibedakan menjadi 2 yaitu:
Pemilikan secara paksa atas maal uqar ( harta
tidak bergerak ) yang hendak diual. Hak pemilikan paksa seperti ini dalam fiqh
mu’amalah dikenal syu’fah.
Pemilikan secara paksa untuk
kepentingan umum seperti ketika ada kebutuhan untuk perluasan masji karena
tidak dapat lagi menampung jama’ah yang jumlahnya banyak, syariat membolehkan
untuk pemilikan secara paksa terhadap tanah yang berdekatan dengan masjid
sekalipun pemiliknya tidak mau menjualnya.
Dari 4 sebab diataslah seseorang
menjadi pemilik suatu harta. Pemilikan ini merupakan keistimewaan bagi seseorang
untuk secara bebas ber-tasharruf atau bertindak terhadap harta yang
dimilikinya. Pun demikian, Keistimewaan ini tidak bersifat mutlaq karena
sekalipun islam menghormati dan melindugi pemilikan harta, penggunaannya tetap
tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariat islam atau berbenturan dengan
kepentingan umum dan lain - lain.
D. Sumber-Sumber
Hak Milik
Hak
milik seseorang merupakan hak masyarakat seperti halnya kewajiban seseorang ada
pula kewajiban kemasyarakatan. (fardlu 'ain dan fardlu kifayah).
Menurut
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merinci penghasilan sumber-sumber pemasukan harta
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai berikut :[8]
~
Pajak tanah (kharaj)
~
Pajak hasil bumi (al-usyur)
~
Zakat emas, perak, ternak, pertambangan, zakat fitrah
~
Kekayaan yang di peroleh dari musuh tanpa perang (fay)
~
Seperlima dari hasil rampasan perang
~
Seperlima dari hasil barang-barang logam (al-ma'dan)
~
Seperlima dari hasil karun ( kunuz) penemuan emas, perak (rikaz)
~
Seperlima dari hasil kekayaan laut
~
Pajak kepala (al-jizyah)
~
Bea cukai barang ekspor dan impor (al-usyur)
~
Barang tercecer yang tidak diketahui siapa pemiliknya (luqathah)
~
Harta peninggalan dari orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris
~
Upeti/uang damai dari musuh untuk jaminan perdamaian
~
Harta wakaf
~
Sumbangan wajib dari rakyat karena pemerintah membutuhkannya
~
Penetapan-penetapan ulil amri yang tidak bertentangan dengan nash syara'
E. Impelementasi
kepemilikan
1. Kepemilikan
individu
Setiap manusia secara fitrah terdorong
untuk memenuhi segala kebutuhannya. Manusia selalu berusaha untuk memperoleh
kekayaan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya karena hal ini selain termasuk
perkara yang fitri juga merupakan perkara yang pasti dan harus dilakukan. Oleh
karena itu, setiap upaya melarang atau membatasi manusia untuk memperoleh kekayaan
tersebut tentu bertentangan dengan fitrah tapi bukan berarti manusia dibiarkan
untuk memperoleh kekayaan, mengusahakannya dan mengelolanya dengan cara sesuka
hatinya. Syariat memberikan aturan-aturan berkaitan dengan hal ini seperti
memberikan keterangan berkaitan sebab-sebab kepemilikan, dan bagaimana
ber-tasharruf dengan harta tersebut. Harta yang termasuk kepemilikan ini adalah
harta yang bukan merupakan menyangkut kepentingan manusia secara umum seperti
rumah, tanah, kebun dll.[9]
2. Kepemilikan
umum
Kepemilikan umum adalah
izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untu sama-sama memanfaatkan
benda/barang. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan ini adalah
benda-benda yang telah dinyatakan oleh syari’ memang diperuntukan bagi suatu kominitas
masyarakat, karena mereka masing-masing saling membutuhkan dan syari’ melarang
benda tersebut dikuasai oleh seorang saja. Benda-benda ini tampak pada tiga
macam, yaitu:
·
Merupakan fasilitas umum; kalau tidak
ada didalam suatu negeri atau suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa
atau perselisihan dalam mencarinya. Jadi fasilitas umum pada intinya adalah apa
saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum sebagaimana sabda
Rasulullah saw: "Kaum muslim
bersekutu ( memiliki hak yang sama ) dalam tiga hal: air, padang dan api” ( HR.
Abu Daud )
·
Barang tambang yang tidak terbatas
·
Sumber daya alam yang sifat
pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara
perseorangan.
3. Kepemilikan
negara
Kepemilikan negara adalah harta
yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang
khalifah atau dalam konteks saat ini adalah pemerintah suatu negara.
Benda-benda atau harta yang termasuk kepemilikan negara adalah harta yang tidak
termasuk milik umumn namun milik individu/perseorangan ( karena harta tersebut
dapat dimiliki secara pribadi seperti tanah dan barang-barang bergerak) tapi
karena harta tersebut terkait hak kaum muslim secara umum maka harta tersebut
tidak termasuk milik individu dan umum tapi menjadi milik negara dan dikelola
oleh negara untuk kemaslahatan kaum muslim bersama.
PENUTUP
·
Kesimpulan
Usaha munusia sebagaimana
disampaikan dimuka untuk memperoleh kekayaan merupakan hal yang fitri, bahkan
merupakan suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tadi tidak boleh
diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara
sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, serta berusaha
untuk mendapatkannya dengan sesukanya dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya.
Sebab hal ini hal ini akan menyebabkan gejolak, kerusakan bahkan kenestapaan.
Oleh
karena itu, Islam menjelaskan secara utuh pengertian hak milik, sebab-sebab
pemilikan harta, pembagian pemilikan dan berbagai hal yang berkaitan dengan
harta yang tentunya semua hal ini tidak lepas dari universalitas islam sebagai
agama agar manusia memahami batasan-batasan tentang bagaimana memperoleh harta
dan memanfaatkannya. Karena pada hakikatnya semua yang ada di dunia ini adalah
titipan atau amanah dari Allah swt yang dimaksudkan agar manusia mampu
memanfaatkannya dengan benar dalam rangka beribadah kepada Allah swt.
[1]
Hendi Suhendi, 2008 “Fiqh Mu’amalah” hlm. 25
[2]
Prof. Dr. Mahmud Yunus,
1972 Kamus Arab – Indonesia hlm. 45
[3]
QS. Al-Hadid : 7
[4]
Dwi Suwiknyo, SEI. MSI,
2009 “Kamus Lengkap Ekonomi Islam” hlm.
164
[5]
Qardhawy,
yusuf, Dr. 1997. “Peran Nilai dan Moral
dalam Perekonomian Islam”. Jakarta: Robbani Press. hlm. 124
[6] Ibid. hlm. 125
[8] T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy. 1997 “Pengantar Fiqih Muamalah” semarang: pustaka rizki
putra. Hlm. 125
[9] Syekh Taqiyyuddin Anabhani,2004
“Sistem Ekonomi Islam” hlm. 25
Posting Komentar