A. Latar
belakang
Bisnis merupakan
bagian dari kegiatan ekonomi dan mempunyai peranan yang sangat vital untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Berbagai motif berbisnis akan menjadi suatu
dorongan kuat yang akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, baik di
tingkat regional, nasional, ataupun internasional. Bisnis selalu berkaitan
dengan membangun relasi dan kontrak antar individu ataupun golongan, yang
bermuara pada adanya kesepakatan antar kedua belah fihak. Rasulullah sangat
memotivasi umatnya untuk berbisnis, karena berbisnis adalah cara yang paling
cepat mendatangkan rezeki. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa perintah
untuk berbisnis dengan cara yang sahih.
Membangun
hubungan yang positif di dalam berbisnis adalah suatu keharusan, karena ada
kelompok intern dan ekstern yang mempunyai peranan penting terhadap kemajuan
sebuah aktivitas bisnis. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh para pelaku
bisnis adalah profit dan benefit. Dalam setiap perjanjia bisnis.
Sistem Hukum
Islam yang bersumber utama dari al-Qur’an pada dasarnya mengatur semua aspek
yang berkaitan dengan hubungan yang bersifat vertikal (habl min Allah) dan hubungan yang bersifat horizontal (habl min al-nas). Dalam kaitannya dengan
hubungan yang bersifat horizontal dalam Islam salah satunya dikenal dengan istilah
mu’amalat yaitu tata tertib hokum dan peraturan mengenai hubungan sesama
terutama terkait dengan masalah jual-beli, sewa menyewa, hukum perikatan, dan
hubungan ekonomi dan bisnis pada umumnya.
Al-Qur’an
sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur secara eksplisit tata cara atau
kegiatan-kegiatan berbisnis, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang
menguntungkan dan menyenangkan, sehingga al-Qur’an sangat mendorong dan
memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka
seperti di jelaskan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275. Al-Qur’an
mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan
petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu maupun kelompok.
Al-Qur’an mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan
suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Semua itu biasanya adanya
perikatan antara kedua belah pihak dan diikat dengan hokum-hukum tertentu.
Disini coba membahasa bagaimana “Implementasi Hukum Perikatan Bisnis dalam
Perspektif Hukum Islam”
Pembahasan
a.
Pengertian
kontrak, perjanjian dan perikatan dan perbedaannya.
ร Kontrak
Secara
Umum Kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)
antara dua pihak atau lebih yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau
menghilangkan hubungan hukum.
Menurut
Daeng Naja pengertian kontrak dapat dipahami dalam arti sempit dan arti luas.
Kontrak dalam arti sempit adalah suatau perjanjian tertulis. Dan dalam arti
luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefiniskan hubungan antara dua belah
pihak atau lebih. Sementara menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt)
pasal 1233 menjelaskan bahwa kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri.
ร Perikatan
Dalam
hukum perdata Indonesia hukum perikatan diartikan dengan sesuatu hal yang
mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Prof Subekti perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hal yang mengikat itu maksudnya
adalah peristiwa hukum yang dapat menciptakan hubungan hukum bagi kedua belah
pihak.
Pada
dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan
tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu
perbuatan hukum salah satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.[1]
Jadi
lebih jelsanya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak berdasarkan dimana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain
dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
ร Perjanjian
Menurut
Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Sementara dalam literatur lain hakekat antara perjanjian dan perikatan pada
dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat
didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab
hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian
tetapi juga dari aturan perundang-undangan.
ร Perbedaannya
Kontrak, Perjanjian dan Perikatan
·
Perikatan dibuat secara tertulis
·
Kontrak umumnya dibuat bisa secara
tertulis
·
Perjanjian bisa tertulis dan bisa lisan
·
Perikatan lahir dari undang-undang
·
Perikatan merupakan suatu pengertian
yang abstrak karena cakupannya yang luas, sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa hukum yang konkrit.
·
Kontrak dan perjanjian lhir dari
kesepakatan kedua belah pihak
·
Istilah perikatan sebagai padanan
istilah belanda verbintenis
·
Istilah perjanjian sebagai padanan
istilah belanda overeenkomst
b. Konsep
Islam tentang Perikatan
Kata
“perikatan” dan “perjanjian” memiliki makna yang sama dengan kata ‘aqd dalam
bahasa Arab. Menurut Syamsul Anwar konsep perikatan dalam kazanah keislaman
merupakan istilah kontemporer, walaupun istilah itu sudah sering dipakai sejak
zaman klasik. Dalam hukum Islam pra Modern istilah perikatan secara umum biasa
disebut dengan istilah ”iltizam”. Hanya saja istilah ”iltizam” hanya dipakai
untuk menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja. Dan untuk
menunjukan perikatan yang timbul dari kehendak kedua belah pihak, ulama
menyebutnya dengan istilah ”terisinya dzimmah”, dengan menekankan pada hak dan
kewajiban. ”Dzimmah” secara harfiah adalah tanggungan, sedangkan secara
terminologis adalah suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak
dan kewajiban.[2]
Dari
uraian di atas, ulama mendefinisi perikatan dengan terisinya dzimma seseorang yang berkaitan dengan hak ataupun
kewajiban. Dengan demikian, istilah perikatan (iltizam) dalam hukum islam
adalah terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib
ditunaikannya kepada seseorang atau kepada pihak lain. Mustafa az-Zarqa,
sebagaimana dikutip oleh Syamsul Anwar, mendefinisikan perikatan (iltizam)
lebih menitikberatkan pada kewajiban seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu bagi kepentingan orang lain. Definisi di atas memberikan pengertian
bahwa hak dan kewajiban yang timbul pada para pihak sebagai objek dalam hukum
perikatan islam. Lebih jauh Syamsul Anwar menguraikan tentang pandangan
orientasi hukum perikatan, yakni orientasi objektif dan subjektif. Orientasi
subjektif lebih menitik beratkan pada hubungan antar subjek perikatan, yaitu
debitur dan kreditur. Semangat ini diikuti oleh bangsa-bangsa latin, termasuk
kode sipili Napoleon. Gagasan ini muncul dari hukum Romawi kuno. Sementara
orientasi objektif lebih melihat pada sisi objek perikatan yang berupa hak dan
kewajiban. Pandangan ini dianut oleh hukum negara Jerman[3].
c. Syarat
kontrak/Perjanjian dalam hukum perdata dan hukum Islam.
Dari berbagai literatur yang ada baik
dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam, tidak ada perbedaan dalam membahasakan
kata kontrak dan perjanjian tentang syarat dan rukun dalam perjanjian/kontrak.
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya tentang pengertian kontrak, perjanjian
dan perikatan. Dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia dinyatakan bahwa untuk
sahnya perikatan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi[4],
yaitu:
1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara
sukarela dari mereka yang membuat perjanjian
(toestemming);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
(bekwaamheid);
3. Mengenai suatu hal atau obyek tertentu
(bepaalde onderwerp);
4.
Adanya sebab (kausa) yang dibenarkan
(georloofde oorzak).
Sementara
dalam hukum Islam syarat sahnya sebuah perjanjian dapat dijelaskan sebagai
berikut[5]:
1.
Adanya Para Pihak, dan harus tamyiz
a. Tamyiz
b.Berbilang Pihak
2.
Pernyataan Kehendak
a. Sesuai Ijab dan Kabul (kata Sepakat)
b.Kesatuan Majelis
3.
Obyek Akad:
a. Dapat diserahterimakan
b.Tertentu atau dapat ditentukan
c. Dapat ditransaksikan
4.
Tujuan Akad:
a. Tidak bertentangan dengan syarat
ร Persamaan
dan perbedaan syarat-syarat kontrak dalam hukum perdata dan hukum islam.
a. Adanya Kecakapan dalam membuat kontrak
Setiap
orang dan badan hukum (legal entity) adalah subjek hukum, namun KUHPerdata
membatasi subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam kontrak/perjanjian. Untuk
itu kita perlu mengetahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau tidak
mempunyai kedudukan hukum untuk membuat perjanjian. Berikut adalah pihak-pihak
yang tidak cakap secara hukum untuk membuat kontrak[6]:
·
Orang yang belum dewasa, yaitu orang
yang belum berumur 21 tahun
·
Orang-orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, misalnya: anak-anak, orang yang pikirannya kurang sehat atau
mengalami gangguan mental.
·
Semua pihak yang menurut undang-undang
yang berlaku tidak cakap atau dibatasi kecakapannya untuk membuat perjanjian,
misalnya; istri dalam melakukan perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu
harus mendapatkan persetujuan suami.
Dalam
hukum Islam, kecakapan itu dibedakan menjadi dua, yaitu kecakapan menerima hak
dan kewajiban (ahliyyah al-wujub) dan
kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada’).
Dalam konteks pembicaraan ini yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan
berbuat (ahliyyah al-ada’). Menurut
Syamsul Anwar ahliyyah al-ada’ adalah kepatutan seseorang untuk dipandang sah
kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik yang berhubungan dengan
hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Dasar dari kepatutan itu ialah “berakal”
dan karenanya kecakapan ini ada yang tidak sempurna dan ada yang sempurna.
Dengan demikian, kandungan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata Indonesia selaras
dengan prinsip hukum Islam.
b.
Adanya kata sepakat bagi kedua belah
pihak
Baik
dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam, kesepakatan merupakan faktor esensial
yang menjiwai terbentuknya kontrak/perjanjian, kesepakatan biasanya
diekspresikan dengan kata “setuju” atau ”ijab-kabul” (dalam hukum islam),
disertai pembubuhan tanda tangan sebagai bukti persetujuan atas segala hal yang
tercantum dalam kontrak/Perjanjian (KUHPdt). Dalam KUH Perdata dan Hukum Islam
suatu kesepakatan dinyatakan tidak sah, apabila kesepakatan yang dicapai
tersebut terjadi karena kekhilafan atau dibuat dengan suatu tindakan pemaksaan
atau penipuan.
Dalam
hukum Islam, Hasbi As-Shiddiqie dalam Pengantar Fiqh Muamalah, memberikan
pengertian secara luas bahwa kata sepakat / kesepakatan adalah kehendak nyata
sebagaimana terungkap dalam wujud eksternalnya, bukan kehendak batin yang
tersembunyi dalam hati. Kehendak batin tidak dapat berkedudukan sama dengan
perbuatan hukum kongkrit, dan perikatan tidak lahir dari sekedar bertemunya
niat dari para pihak. Hasbi memberikan kaidah yang populer di kalangan fuqaha’
yang menyatakan: “Tiada dinisbatkan suatu pernyataan kepada orang yang berdiam
diri saja” (Laa yunsabu ila sakitin qawlun). Karena itu, “berjanji akan menjual
belum merupakan akad penjualan dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa
menjualnya”[7].
c.
Adanya obyek hukum dalam melaksanakan sebuah kontrak
Hukum Islam dan KUH Perdata mewajibkan
setiap kontrak/perjanjian harus mengenai sesuatu hal sebagai objek hukum,
misalnya tanah sebagai objek perjanjian jual beli. Dalam hukum Islam, obyek
hukum dalam kontrak tidak dijelaskan secara rinci. Hanya saja obyek hukum
dibahasakan dengan obyek akad dan secara teknis dilanjutkan dengan serah terima
akad.
d.
Adanya kausa yang halal
Perjanjian
menuntut adanya itikad baik dari para pihak dalam membuat kontrak/perjanjian,
oleh karena itu kontrak/perjanjian yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak
halal, misalnya karena paksaaan atau tipu muslihat tidak memenuhi syarat, baik
dalam KUH Perdata maupun Hukum Islam. Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia menyebut
“sesuatu sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sahnya perikatan. Menurut
Subekti, kata oorzaak atau causa secara etimologi berarti “sebab”, tetapi
menurut riwayatnya yang dimaksudkan adalah “tujuan”, yakni apa yang dikehendaki
oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jadi yang dimaksud
dengan “sebab” adalah isi perjanjian/kontrak, bukan sesuatu yang mendorong atau
motif seseorang untuk membuat kontrak/perjanjian.
Sementara
kausa perjanjian menurut hukum Islam ialah tujuan pokok yang dikehendaki oleh
perjanjian untuk dilaksanakan, bukan isi yang dikehendaki oleh para pihak di
balik perjanjiannya. Kausa perjanjian jual beli bukan terikatnya penjual untuk
menyerahkan barangnya setelah pembeli menyerahkan uangnya, seperti yang selama
ini difahami dari hukum Barat, melainkan pemindahan hak milik dengan imbalan
berdasarkan hukum syariat.
d. Konsep
Kebebasan dalam berkontrak menurut KUH Perdata dan Hukum Islam
·
Perspektif Hukum Perdata
Dalam
Undang-undang Dasar 1945 dan KUH Perdata Indonesia dan perundang-undangan
lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan tentang berlakunya
asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum
Indonesia. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk
membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan
lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUH Perdata ditentukan bahwa apabila seseorang
membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330
KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut
pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap (voidable).
Menurut
Hukum Perdata setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang
sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebeasan tersebut
dibatasi tiga hal yaitu; tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338
ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan
itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak
hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan
dan dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian yang didasarkan pada itikad
buruk misalnya penipuan. Akibat hukum atas perjanjian tersebut adalah dapat
dibatalkan.
·
Perspektif Hukum Islam
Dalam
hukum Islam setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada
nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan
klausul apa saja kedalam akad yang dibuatnya, sesuai dengan kepentingannya
selama tidak berakibat tidak memakan harta sesama dengan jalan batil. Hanya
saja kebebasan membuat akad dalam hukum Islam tidak mutlak, melainkan dibatasi.
Pembatasan tersebut dikaitkan dengan ”larangan makan harta sesama dengan jalan
batil” sebagaimana tertera dalam QS. 4: 29.
Kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan pada beberapa dalil
sebagai berikut[8]:
1.
QS. Al-Maidah [5] : 1
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2.
QS. Al-Israa [17]: 34
......dan penuhilah janji; sesungguhnya janji
itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
[2] Muhammad Ismail Yusanto dan
Muhammad Karebet Widjajakusuma,
Menggagas
Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 15
[3]
Chapra, M.
Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Surabaya: Risalah
Gusti,
1999. hlm. 45
[4] pasal 1320 KUH Perdata Indonesia
[5]
Muhammad
dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan
Bisnis,
Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002. hlm. 15
[6]
Naqvi,
Syed Nawab, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami, terj.
Husin
Anis, Bandung: Mizan, 1993. hlm. 134
[7] Ibid. hlm. 13
[8]
Muslich, Etika
Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi
Implementatif, Yogyakarta:
Ekonisia Fakultas Ekonomin UII,
2004.
Posting Komentar